Digital Super Impossed HERU S SUDJARWO on PANDOYO TB photo's |
Sulit dibayangkan seberapa besar kecintaan dan biaya Kanjeng Pangeran Arya Adipati Condro Kusumo Suro Agul-agul Ki ageng Donowarih Ki Bodronoyo H. Begug Poernomosidi terhadap peninggalan budaya leluhur yang adiluhung itu, jika sebilah keris dengan kualitas sedang saja berada pada kisaran harga 5 juta? Dan wayang kulit dengan kualitas yang baik bisa jadi harganya diatas 2,5juta? Jangan coba-coba menghitung, jika harga keris ’Nagasasra’, seratus jutapun belum tentu Kanjeng Bupati berkenan melepas, belum lagi wayang-wayang klasik buatan tahun 1716,1744 yang beliau koleksi.
PANDOYO TB's photo |
Saya tentu tidak dalam kapasitas menaksir uang yang telah dikeluarkan kangmas Begug, demikian beliau suka dipanggil. Tapi hidup selama 2 bulan bersamanya, kalau saja saya tidak sering-sering istighfar, mungkin rambut saya sudah sulit rebah, melandak menantang langit, saking sombongnya.
Berjalan bersama beliau pada suatu malam menuju panggung tempat beliau mendalang, laksana raja atas angin. Diiringi serangkaian mobil para pengawal keraton ’Kadipaten Songgo Langit’, demikian beliau biasa menyebut kabupaten yang dipimpinnya. Belasan swarawati dan penari Bedaya (bahkan pernah pentas dengan 300 sinden dalam sebuah pertunjukan), puluhan nayaga dan abdi dalem untuk berbagai urusan, merupakan barisan besar yang secara rutin berkeliling wilayah kabupaten wonogiri menggelar wayang.
Walaupun tampak glamour, itulah cara seorang pimpinan daerah yang juga seorang dalang 'tiban', dalang yang tanpa belajar langsung bisa mendalang, menyampaikan program-programnya yang nota bene adalah perpanjangan tangan pemerintah.
’Ditimbali’, dipanggil untuk satu urusan, oleh Kanda Bupati 3 bulan yang lalu, adalah peristiwa yang begitu indah. Betapa tidak, sebagai orang yang menyukai wayang sejak dalam kandungan (sing iki rada ngawur, biar lucuhhh), saya seperti mendapatkan hadiah lotere tanpa memasang. Mendapat amanah menyusun buku 3000 wayang koleksi Begug Poernomosidi, dipastikan saya dapat memanjakan sahwat penglihatan saya. Menikmati tatahan dan sunggingan puluhan, bahkan mungkin ratusan empu.
PANDOYO TB's photo KURAWA 100 |
Dengan tergopoh-gopoh saya pecut tunggangan saya Ki Suproton, tanpa sais menuju Wonogiri. Terbayang Ki Bodronoyo dengan kehangatan senyumnya yang khas, dengan keanggunan seorang warok ia akan menyajikan menu 'ngerowot', berbagai makanan dari ubi-ubian yang beliau konsumsi selama lebih dari 20 tahun sebagai menu utama setiap hari. walaupun sesungguhnya dengan keberadaan sebagai bupati selama 2 periode, restoran mana yang keberatan menyuguhkan sajian terbaik mereka untuk sang baginda.
CINTA BUDAYA NEGERI
Kanjeng Pangeran Condro Negoro adalah orang yang simpel, meletup, penuh dinamika angan -angan akan hal yang besar, begitu cepatnya ia menemukan gagasan-gagasan segar, bahkan terlalu cepat hingga tidak jarang membuat lintang pukang pembantu-pembantunya.
Jika kebetulan uang 'ready', saat itu juga gagasan dilaksanakan, tapi jika dana tak tersedia segera, bisa memusingkan semua bawahannya.
Suatu pagi beliau menginstruksikan 'membangun candi' misalnya, semua prajurit, hulu balang serta merta bergerak menyiapkan 'uba rampe', sarana dan prasarana membangun candi.
Hanya berjarak makan siang, karena dana membuat candi belum terbayang keberadaanya, sore ia sudah punya gagasan lain: Membuat tambak!. Maka 'sungsang-sumbel'lah laskar kadipaten Sonngo langit.
"Kanjeng, bagaimana, apa candi tetap dipersiapkan pembangunannya"
"Candi opo?" sambil menyorong ketela pohung .
Mungkin ilustrasi diatas kelewat ekstrim buat menggambarkan seorang bupati yang gelisah, dinamis dalam pengertian kreatif. Kecintaannya kepada budaya negeri ini tak ada yang meragukan. Bagaimana ia membangun Museum Wayang di Wuryantoro, bagaimana ia mensponsori Ki Manteb Soedharsono sebagai duta budaya ke UNESCO yang pada akhirnya kita semua mendapat pengakuan, wayang dari Indonesia sebagai warisan budaya dunia.
Itu sebabnya saya tak meragukan ketika beliau meminta saya menyusun buku koleksi wayang nya. Bukan itu saja, ia bahkan akan membiayai pengalihbahasaan buku RUPA & KARAKTER WAYANG PURWA.
" Dinda, ndak usah balik Jakarta lagi. Besok selamatan, langsung mulai pekerjaan" Demikian mas begug, di gazebo rumahnya yang belum jadi di Solo.
"Ini ada uang untuk memulai, mbesuk Seloso tak kasih semuanya. Sak biaya cetaknya sekalian" suara raja menggetarkan, apalagi sambil menyorongkan 'shopping bag' warna-warni berisi uang.
"Siap kandah" kata saya sambil tangan saya secara reflek mulai bekerja cepat keatas meja, tanpa harus memindahkan pandangan saya dari wajah beliau, shopping bag itu telah terlipat ringkas, padat langsung berpindah dan bersemayam dengan mantab di singgasananya dalam rangsel saya.
KAMAR NO 4
Di keraton 'kadipaten Songgo Langit' ada sebuah kamar. Bidang rumah tangga kabupaten memberi nomor urut 4 pada ruang ukuran 5 x 12 meter itu. Ruang mewah dengan 3 tempat tidur besar dipercayai sebagai ruang 'istimewa', bahkan secara bisik-bisik para abdi dalem senior mengatakan kamar itu adalah ruang pertemuan Kanjeng Bupati dengan Nyai Roro Kidul.
" Dinda, panjenengan nanti sare (tidur) di kamar nomor 4" kata beliau.
" Kamar itu, beberapa presiden yang mau memangku jabatan sare disitu lho..," tambahnya lagi serius.
Di keraton 'kadipaten Songgo Langit' ada sebuah kamar. Bidang rumah tangga kabupaten memberi nomor urut 4 pada ruang ukuran 5 x 12 meter itu. Ruang mewah dengan 3 tempat tidur besar dipercayai sebagai ruang 'istimewa', bahkan secara bisik-bisik para abdi dalem senior mengatakan kamar itu adalah ruang pertemuan Kanjeng Bupati dengan Nyai Roro Kidul.
" Dinda, panjenengan nanti sare (tidur) di kamar nomor 4" kata beliau.
" Kamar itu, beberapa presiden yang mau memangku jabatan sare disitu lho..," tambahnya lagi serius.
Kata-kata "presiden yang mau memangku jabatan" itu membuat saya bergidig. Saya ini apa? Pelukis nggak terkenal, sutradara 'magel', nanggung. Pematung pesanan pemerintah, penulis?
"Mengko tak buka'ke (nanti saya bukakan)" kata beliau lagi. Tentu kata 'buka' disini bukan dalam kaidah bahasa Indonesia yang 'baek dan bener'. Buka, dalam pemahaman ritual orang jawa, yaitu ketuk pintu pada penunggu ruangan yang tak kasat mata.
Astaghfirullahalazim, kali ini berdiri bulu kudukku.Seorang kru pemotretan secara jenaka mencubit pantatku: " Lho, gimana sih Oom.., njenengan itu kan juga calon presiden to.., PRESIDEN WAYANG RIKIBLIK ENDONESAAAHH"
" ..mbesuk Seloso" yang tak kunjung tiba
Kepercayaan ini anugerah buat saya. Jangankan dibayar, mengeluarkan uangpun demi terwujudnya impian indah bersama wayang, saya lakukan.
Uang muka itu kurang dari sepersepuluh nilai pekerjaan, tapi 'aura ketulusan' beliau membuat saya menyusun armada tempur yang besar untuk menyegerakan penyelesaian buku. Fotografer kelas satu dengan tim dan peralatan saya datangkan. Desain grafis saya siapkan dengan pola kerja on line di Solo, Jakarta,Tangerang dan Bogor. Konsultan beserta staf dari Pasinaon pedalangan keraton Mangkunegaran saya hadirkan. Bahkan saya bekerjasama dengan satu pengelola web site wayang yang menggambar wayang secara digital untuk membuat gambar Kurawa 100 miliknya (Pak Begug satu-satunya orang Indonesia yang mempunyai wayang Kurawa 100 lengkap) sebagai nilai tambah buku itu.
Dengan percepatan demikian, uang dalam shopping bag di rangsel hitam saya hanya mampu mengelola 20 hari perhelatan kelas dunia itu.
Sejak hari ke 21, saya mulai menata 'Gelar sepapan', pola tempur ala pewayangan, menjadi gaya bertahan. Satu pesatu teman-teman seperjuangan saya minta pulang lewat pintu belakang meninggalkan medan laga mencari penghidupan lain.
Sudah 4 bulan. Saya tinggal sendirian bengelus halaman demi halaman dengan kecepatan 5 km per jam dari siang hingga pagi hari berikutnya, setiap hari tanpa libur hari minggu ataupun hari-hari besar lainnya.
Terbayang candi yang tak jadi dibangun, tentang tambak, walaupun itu hanya itu ilusi saya agar tampak lucu ditengah kehidupan istana yang sering kali lebih perih dibanding hidup ditengah kaum 'bisa-biasa saja.
Hari 'Seloso' itu akhirnya tak pernah datang. Saya tetep menggumuli wayang sebagai bentuk cinta, bukan lagi sebagai sebuah pekerjaan sambil sesekali menengok kalender besar hadiah Bank mandiri.
Alangkah terkejutnya saya bukan alang kepalang. Ternyata, hari seloso itu memang tidak tidak tercetak disana.
Tak yakin, saya lihat kalender lain. Sungguh terguncang saya dibuatnya. Hari seloso itu tak pernah ada dalam khasanah perkalenderan manapun. yang ada adalah HARI SELASA
Bekasi, 24 Oktober 2010 sebelum azan Magrib.
Saya bahkan rela membantu untuk memujudkan rencana ini,,,karna saya bangga dengan warisan budaya adiluhung nenek moyang kita......
ReplyDelete