Tuesday 9 November 2010

SIAPA SIH DIA ?

Umang Belik: 

Adalah Tri Wibowo BS yang menjebatani saya dengan seseorang dimana pada saat itu masih asing, ya! bahkan sangat asing.

"Ah!, siapa sih dia ?"


Melalui sebuah posting cover buku di facebook, Mbah Kanyut, demikian ia biasa dipanggil, menyertakan komentar; "meski saya sebagai editor punya hak prerogatif yang bisa saja mengacak-acak sebuah calon buku sesuai selera saya terhadap buku yang akan diterbitkan, tapi untuk buku ini jika saya menggunakan hak itu justru hanya akan mengotori esensi buku ini...” 


Selesai membaca tulisan editor senior penerbit Kakilangit kencana dan memandang desain sebuah calon buku, saya berpikir untuk bagaimana caranya bisa membeli buku itu bila kelak terbit. Yang ada dalam benak saya, buku ini pasti sangat mahal (utk ukuran kantong saya), tapi bila ditilik dari isi dan kualitas serta nilai seni, harga menjadi persoalan ke seratus satu. Akhirnya saya memutuskan menabung agar pada saat buku itu tebit saya sudah siap membelinya.
Menuju tanggal terbit, facebook dibanjiri status dan komen-komen dan sejumlah jempol, hingga terbitlah buku yang saya diidam-idamkan itu.
Dengan menebeng saudara Zen, dan berbagai upaya termasuk nyasar kesana kemari, tibalah rombongan kami di kantor "Kaki Langit..." disitu sudah menunggu Mbah Kanyut beserta balad-baladnya. Rasa kangenpun meledak sesama warga Senthir tumpah diruang yang ber AC itu. Ngopi-ngopi, canda-canda, crengas-crenges pun pecah.

Newseum Art space, acara selamatan selesai produksi buku RUPA & KARAKTER WAYANG PUR
Newseum Art Space di jalan Merdeka Utara, tepatnya jalan Veteran, tempat dimana acara itu akan dilaksakan,... makin malam makin ramai, makin riuh, makin banyak kata yang berhamburan makin banyak tawa yang dilepaskan, karena ternyata ruangan itu nyaris dipenuhi orang-orang SENTHIR, meski ada Juga Romo Muji Sutrisno, Mbah Dwi Koendoro, dan orang-orang hebat lainnya. Ditengah riuh rendahnya suara, mendadak sontak seketika senyap..ada apa gerangan ? Semua orang berdiri,... menengok kearah pintu masuk,... tanpa iringan gamelan bedoyo srimpi, tanpa klenengan banyumasan, tanpa kendangan yang menghentak,... masuklah sosok dengan terseok-seok (sungguh diluar dugaan saya), ia berjalan dengan satu kaki yang agak diseret (dalam hati saya "ketidak sempurnaan adalah sebuah potensi"), dengan gembira, sosok tersebut menuju ke tengah ruangan dan menyalami semua tamu yang hadir -termasuk yang tidak diundang, sampai pada gilirannya saya menyalami tangan beliau dan memperkenalkan diri ,... "Umang Belik Mas",... "oh terimakasih-terimakasih sudah hadir disini...., ya! saya Heru S Sudjarwo", dengan gaya khas dan selalu membayang dipelupuk mata.

Acara mengalir mulai sejarah penulisan buku "RUPA & KARAKTER WAYANG PURWA", seremoni penyerahan cindera mata kepada tamu undangan, kepada pembeli pertama, hingga ditutup dengan do'a oleh Gus Adib Machrus,... telah mampu menggambarkan demikian panjang perjuangan menuangkan sebuah kecintaan pada wayang. Meski hanya disisa-sisa suara yang bisa jadi itu berupa suara pantulan atau resonansi saja, saya masih sempat mendengar sebuah RAUNGAN itu.
Raungan seorang Heru S Sudjarwo.
Tokoh SENTHIR: Gus Adib, Bunda Sridem, Zen Mehbob dan Umang Belik bersama penulis (Kiri). Teman-teman SENTHIR, meramaikan acara selamatan (Kanan)

Heru s sudjarwo, Gus Adib Machrus dan Zen Mehbob
Itulah awal perkenalan dan pertemanan saya dengan Heru S Sudjarwo, itulah kali pertama saya berjumpa secara fisik. Selepas itu, tidak ada pertemuan berikutnya, kami dan teman-teman lain hanya saling menyapa di jejaring sosial ini, tidak ada jabat tangan bahkan pelukan hingga acara Kopdar SENTHIR di Guci,... itulah kali kedua saya bertemu dengan Heru S Sudjarwo, cerita demi cerita, kelakar demi kelakar, canda demi canda bahkan ledekan demi ledekan dilontarkan dengan bersahaja, dengan kekuatan jiwa yang penuh dedikasi atas ketulusan berteman, tekadkan untuk bisa ikut berkumpul dengan Warga SENTHIR ditengah-tengah kesibukannya mendokumentasikan wayang-wayang Koleksi Begug Poernomosidi.

Pertemuan di GUCI (kiri), Bupati Tegal Agus Riyanto membeli buku R&KWP (kanan), foto bersama Bupati Tegal (Insert)
Pertemuan dengannya di suasana lebaran di rumah kawan Zen mehbob adalah kali ketiga kami bertemu, lagi-lagi aku dapati sosok yang selalu gembira, selalu bersahaja, selalu meledak-ledak dengan gaya bicara yang sangat teatrikal, penuh intonasi dengan artikulasi yang jelas ditunjang dengan gerakan serta mimik hasil olah tubuh yang mumpuni. Semua yang ada di rumah itu terkesiap.
Ia bercerita tentang bagaimana proses merancang dan membuat patung, proses desain piala citra, proses menyungging wayang, proses kreatif sebagai art driector, bahkan mengingat nama-nama lama didunia pentas dan seni seperti Pak Roedjito (almarhum ), sang master dalam penataan panggung, tentang Toeti Indra Malaon, tentang Niniek L Karim, tentang percussionist Dullah Suweleh dan lain-lain laksana sebuah perpustakaan yang tak habis dibaca.
Ternyata,... saya bertemu dengan bukan saja seorang pekerja seni, tapi keberadaannya sendiri sudah sebuah seni, brewoknya seni, gaya bicaranya seni, cara berpakaiannya seni, kerdipan matanya seni, tertawanya seni, selorohnya seni, denyut nadinya juga seni, bahkan jiwanya... ya! jiwanya itu sendiri sudah sebuah seni. Tidak percaya ?... mengenalah lebih dekat! dan jangan DEKATI DIA DENGAN BEKAL SEADANYA. Tapi saya nekad memeluknya dengan bekal yang bukan lagi seadanya, bener-benar tanpa bekal, ya! tanpa bekal sama sekali saya memeluk beliau, karena saya yakin, kearifannya akan menerima saya dengan apa adanya.
Tgl 9 Oktober 2010, dari jam 8 malam sampai pagi, saya, Gus Adib Machrus dan Mas Heru... berbincang di kediaman Gus Adib, ia mengatakan bahwa "Heru juga bisa sedih".

Saya menangkap banyak hal, saya faham bahkan bila saya bisa meski dengan lirih, akan saya katakan "Mas! apa yang bisa saya lakukan?",... ketika ketulusanmu dijawab dengan akal bulus, ketika komitmenm diu terhadap seni dijawab tipu daya, ketika kasih sayangmu dijawab dengan muslihat... Hiks!
Mas,... layar monitor ini mendadak buram, saya tidak bisa melanjutkan tulisan ini meski sudah pakai kacamata, tapi percayalah Mas, disini masih ada Mbah Kanyut, Aki Anwar, Kang Rumli, Gus Adib, Kang Zen, Mas Imam, Mbak Desiree, Mbak Pamella, warga SENTHIR secara keseluruhan yang memiliki keihklasan...menemanimu.

 ...terakhir ada saya Mas!.

Sitanggal
25 Oktober 2010 





Umang Belik
Seorang Sahabat,
Belasan tahun berkelana di hutan-hutan Irian Jaya
sebagai Floor Director - Construction & Technical Surveyor
Sekarang mengelola beberapa Waralaba di Tegal.
Gemar Melukis dan menulis

4 comments:

  1. tak menyana, apa yang saya curhatkan di Facebook tentang bagaimana proses perjalanan dari mulai perkenalan hingga menjadi paseduluran saya dengan Mas Heru S Sudjarwo telah di naikan pada level yang lebih khususon, pada level sebuah Blog yang sungguh indah, yang penuh dengan citra dan nuansa seni budaya...

    hanya ada satu ucapan yang menjadikan keakraban ini bisa terwujud dari seorang maestro kepada saya yang hanya sebatas penikmat seni, yaitu KETULUSAN JIWA.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih Mas Umang..
    Tulisan ini saya anggap sebagai hadiah ulang tahun ke 52 dari seorang sahabat..

    Terima kasih
    Heru S Sudjarwo, sekeluarga

    ReplyDelete
  3. Eh ketemu disini Pak De Mas Heru, sip sip sip!
    Keren..! sayang waktu ada acara di Newseum ndak bisa ikutan..

    Wis pokoke SUKSES selalu kagem njenengan :)

    ReplyDelete
  4. Bukunya bagus, tetapi ada sedikit ganjelan:
    Banyak gambar wayangnya yang tidak bisa dinikmati karena menaruh
    gambarnya (lay-out) di tengah lipatan buku. Saya rasa ini harus diperbaiki
    di penerbitan berikutnya supaya lebih sesuai denan maksud diterbitkannya
    buku ini seperti yang tertulis di halaman 11 buku tsb "...kami tulis untuk menggali kekayaan yang terpendam, khususnya estetika rupa wayang..."
    Maksud saya membeli buku ini juga agar saya bisa menikmati gambar wayangnya
    yang lengkap dan jelas. Dalam hal gambar, buku ini dapat disandingkan dengan buku karangan pak Hardjowirogo "Sedjarah Wajang Purwa" yang terbitan tahun 1968 kebawah, karena setelah cetakan baru gambarnya "mblobor" tidak rapi. Kekurangan buku R&KW hanya pada layout gambarnya saja. Nuwun.

    ReplyDelete